profil penulis

Profil Penulis


‘Jalan Tuhan Lewat Tintaku’. “judul novel yang menarik”, batinku. Langsung kusambar nover tersebut dari rak nomor 25. Tidak sempat kulihat inti cerita dari novel tersebut karena waktu telah menunjukkan pukul 06.36 wib. Mungkin karena saya terlalu lama memilih dan memilah. Entah mengapa saya langsung menyambar novel ini setelah melihat cover dan judulnya yang terlihat menarik. “semoga saja feelingku tepat.”, batinku kembali.

Hari ini kota Jogjakarta benar-benar ramai, mungkin karena hari senin. Yah, ‘monday’ atau monster day. Hehee. Kata-kata yang tak sengaja ku dapat dari dunia maya. Banyak orang yang memulai aktivitasnya kembali di hari senin, biarpun rasa malas masih merasuki tubuh mereka. Namun rasa itu kalah dengan rasa takut dipecat bos, rasa takut dipotong gaji oleh atasan, rasa takut mendapat nilai jelek oleh guru, rasa takut tidak diabsen, atau bahkan rasa takut dimarahin istri. Dan banyak rasa lagi sebanyak umat manusia dibumi ini. Ternyata hari senin di berbagai tempat sama saja, selalu ramai.

Sudah tiga bus yang lewat begitu saja dari halte yang saya tempati. Semuanya telah penuh dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam tujuan. Sambil menunggu bus yang kosong, ku buka novel yang barusan aku beli dari Gramedia yang hanya berjarak seratus meter dari halte. Ternyata penulis muda atas nama Ahmad Fauzi. Namanya mengingatkanku dengan teman masa SD ku. Banyak komentar-komentar yang memuji karyanya di halaman awal yang semakin membuatku penasaran akan isi dari novel tersebut.

Di halaman-halaman awal banyak nama-nama tempat yang tak asing bagiku, seperti nama sekolah, nama-nama desa yang hampir mirip atau bahkan sama persis dengan nama-nama yang ada ditempat tinggalku. Dalam hati ku berkata ternyata nama-nama tersebut juga ada dibelahan bumi yang lain. ”dunia tak seluas daun kelor” tambahku. Setelah tiga bab dari novel tersebut kulahap, terdengar suara kernet mengeluarkan jurusnya untuk menarik perhatian para penumpang. Tanpa berpikir panjang langsung ku langkahkan kaki menuju kedalam bus. Bukan karena terpikat oleh jurusnya, melainkan waktu yang sudah tidak ada lagi.

Tujuanku hari ini adalah menuju SD Al-Islam, tepatnya di jalan Malioboro untuk mencari satu tempat pekerjaan disana. Pekerjaan yang mulia tentunya. Saya adalah lulusan Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar dari salah satu universitas di Surabaya. Setelah lulus, saya memutuskan untuk merantau ke kota, sejenak meninggalkan kampung halaman. Menjelajahi dunia agar bisa lebih mandiri dan mengerti arti hidup. Kota pendidikan ini adalah penjelajahan pilihanku. Semoga disini nanti saya bisa mendapat satu tempat untuk menyalurkan apa yang sudah kudapat dari bangku perkuliahan.

Banyak yang tidak setuju dengan keputusan saya mengembara ke kota lain, termasuk seseorang yang selama ini mengisi hari-hariku. Karena selain perempuan, kita juga nantinya akan jarang atau bahkan tidak pernah bertemu sama sekali. Namun itu tidak mengubah tekatku. Karena saya ingin membuktikan kepada dunia bahwa perempuan juga bisa hidup mandiri. Soal jodoh, itu sudah ditetapkan oleh tuhan. Memang jodoh itu harus diusahakan, dan saya akan mengusahakannya seiring usahaku menuju masa depanku. Itu adalah suatu prinsip.

Didalam bus kulanjutkan untuk membaca novel yang telah ku beli. Cerita yang ditulis begitu mencengangkan, yang membuatku terbawa ke masa kecilku dulu. Membuatku mengingat semua masa penuh canda tawa tersebut. Ceritanya memang berawal dari masa kecil yang penuh warna. Sang penulis sangat pandai menghipnotis pembacanya sehingga mampu membawa sang pembaca kembali mengingat masa kecilnya. Setelah membaca berlembar-lembar, saya tersadar bahwa pemain perempuan dari novel tersebut memiliki nama yang sama denganku, Senandung Annisa. Hal tersebut membuatku tersenyum geli dalam hati.

“Malioboro.. Malioboro..” Suara yang terdengar dari pita suara sang kernet, menandakan bus telah sampai di Malioboro, dan menandakan pula bahwa saya harus turun. Tidak kebetulan SD Al-Islam hanya berjarak beberapa meter dari halte Malioboro, alasan itu yang membuatku memilih SD ini. Jangkauan menuju SD sangat mudah, tanpa membutuhkan kendaraan pribadi ataupun oper transportasi berkali-kali. Selain itu, SD ini adalah SD swasta yang cukup popular dikawasan Malioboro.

“Masuk saja mbak, nanti belok kanan” jawaban dari penjaga SD dengan perawakan tinggi besar tanpa menghilangkan keramahan.
Setelah kuikuti petunjuk yang kudapat, kutemukan ruang kepala sekolah yang bersebelahan dengan ruang kelas IIA. Mata ini lebih tertarik untuk memperhatikah ruang kelas IIA daripada ruang kepala sekolah. Karena selain ruang kepala sekolah yang terlihat sepi, juga karena ruang kelas IIA yang begitu ramai, bukan ramai gaduh, melainkan ramai dengan anak-anak yang bersemangat untuk belajar. “Inilah kelebihan SD ini, inilah SD yang kucari” batinku.
Saya kembali mengamati ruang kelas tersebut, mata ini mencari-cari sosok yang mampu menciptakan suasana kelas yang begitu hidup. Tidak mudah menemukan sosok tersebut, karena sosok itu telah digandrungi anak didiknya. Seperti induk bebek dengan anak-anaknya. Atau seperti superstar dengan para fansnya. Hihii. Kuketahui badan yang tidak begitu tinggi dan tidak begitu berisi dengan potongan rambut yang pendek dan rapi setelah iya berdiri dari duduknya. Tidak terlihat wajah penuhnya, yang terlihat hanya satu mata tajam dan hidung mancungnya dari kejauhan.
“Ada yang bisa saya bantu bu?” kalimat yang memecah konsentrasiku, memecah anganku mengumpulkan serpihan-serpihan wajah yang membentuk sosok wajah itu.
“Eh, iya bu.”
“Maaf kalau saya mengagetkan anda” kata ibu yang wajahnya terlihat sudah tua namun masih memiliki kharisma.
“Emm, tidak apa-apa bu” saya langsung menyiapkan diri.
“Begini bu, saya ingin menemui ibu kepala sekolah? Apakah beliau ada?”
Oh, iya saya kepala sekolah disini, mari silahkan masuk ke ruangan saya.

***
Surat lamaran telah kuberikan kepada kepala sekolah setelah bercengkrama panjang lebar. Kepala sekolah yang terbilang ramah. Faktor yang membuatku lebih ingin diterima di sekolah itu. Selain keramahan, berbagai prestasinya yang membuat ia menjadi kepala sekolah di SD Al-Islam. Namun ada perasaan ragu, karena menurut kepala sekolah SD Al-Islam tidak lama telah menerima guru muda, yang sepak terjangnya dalam mendidik siswa telah diakui oleh para guru dan wali siswa. Sosok guru muda ini yang lebih banyak diceritakan oleh kepala sekolah. Guru yang dibutuhkan Indonesia. Entah karena ingin memotivasi saya, atau sindiran halus untuk tidak menerima saya menjadi tenaga pendidik disini. Tetapi apapun hasilnya, yang terpenting adalah tetap berusaha, karena tidak ada kesuksesan tanpa adanya usaha. Itu sudah janji allah, man jadda wa jadda.

***
‘Jalan Tuhan Lewat Tintaku’, novel ini kembali kubuka dan kubaca. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraph demi paragraph, lembar demi lembar, dan bab demi bab. Alasanku membeli novel adalah untuk menghilangkan kejenuhanku saat berada dikos-kosan. Karena masih beberapa hari di kota orang, saya masih sendiri dan tidak memiliki teman. Sebenarnya ada kerabat yang juga di Jogja, tapi saya tidak ingin merepotkan, selain itu saya ingin seutuhnya mandiri. Bisa hidup mandiri adalah suatu kebanggaan tersendiri. Apalagi itu adalah seorang perempuan. Seperti khadijahnya nabi Muhammad. Selain alasan jenuh, alasan utama adalah ingin menghilangkan kepedihan hati. Iyah, setelah diri ini memutuskan untuk mengembara ke kota, hubunganku dengan sang pujaan hati pun berantakan. Pikirku, mungkin ini hanya masalah adaptasi dan waktu, nanti juga akan terbiasa dengan hubungan yang jauh atau LDR. Namun dia yang ada disana sepertinya tidak demikian, jarak adalah penghancur suatu hubungan. Tidak ada pertemuan maka tidak akan ada perasaan. Ada perasaan sesal terhadap keputusanku, namun dari perasaan terdalam, ada motivasi yang lebih untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi, menjadi mandiri dan sukses.

Setelah kuputuskan untuk sholat isya’ terlebih dahulu, agar jika tertidur tidak akan jadi masalah, kulanjutkan membaca novel yang ceritanya telah mencapai klimaks. Cerita tentang masa kecil yang penuh canda tawa yang menimbulkan benih-benih cinta, yang cintanya mampu ia pendam hingga dewasa. Cinta pertama yang mampu mengalahkan cinta yang lain. Cinta monyet yang menjadi cinta sejati. Cinta monyet yang menjadi cinta sang arjuna. Cerita cinta yang sungguh mainstream namun entah kenapa tetap ekstrem jika dituangkan dalam cerita cinta.

Cerita yang membuatku sedikit terhibur. Cerita yang membuatku kembali pada masa lalu, apalagi dengan nama tokoh yang sama denganku, Senandung Annisa. Yang membuatku mengingat masa lalu, Ahmad Fauzi. Nama seseorang yang menjadi cinta monyetku, memang tidak banyak yang tahu, mungkin dia pun tidak tahu bahwa saya pernah memiliki rasa untuknya, meskipun itu cinta monyet. Sosok anak yang putih bersih dengan rambut ikalnya. Sosok anak yang pendiam dengan kepandaiannya. Sosok yang memang mirip dengan sosok yang diceritakan dalam novel. Membuatku semakin tertawa geli.
Kriiing.. kriiing.. hp ku berbunyi, melenyapkan khayalanku tentang  sosok Ahmad Fauzi.
“Hallo.”
“Iya hallo.”
“Kemana saja kamu hari ini, tidak ada kabar?”
“maaf saya tadi sibuk?”
“saya tadi juga sibuk mengantar surat lamaran ke beberapa SD tapi masih bisa ngasih kabar ke kamu, terus kenapa sekarang telfon?”
“Tidak apa-apa, mau tanya alamat kamu dijogja”
“Buat apa?”
“Tidak apa-apa, biar tau saja”
“Iya nanti tak sms”
“Iya sudah, kamu segera istirahat, maaf ya, sekali lagi maaf”
“Maaf untuk apa?”
“Tidak apa-apa, selamat malam sayang”

Ucapan selamat malam yang diakhiri dengan bunyi tuut tuuut tuuut, menandakan telfon telah dimatikan.
Percakapan yang menimbulkan pergulatan batin, percakapan yang menimbulkan tanda tanya besar di kepala. Ada sedikit rasa bahagia bisa mendengar suaranya, namun banyak rasa penasaran atas suara yang sangat tersirat tersebut. Membuat pikiran ini bekerja lebih ekstra untuk memikirkan semua kemungkinan yang terjadi. Hingga lelah, hingga mata ini terpejam setelah mengirim alamatku kepadanya melalui sms.

***
Setelah percakapan malam itu, tidak ada lagi sms darinya, tidak ada lagi telfon darinya, tidak ada lagi kabar darinya. Sms, telfon, dan bbm ku tak terbalas.
Pikiran yang tak terbendung, wajah yang murung, tubuh yang lusung. Pujaan hati seharusnya mendukung, bukan malah menjegal seperti ini. Seperti partai politik yang tak punya koalisi, seperti partai politik yang tak punya pendukung. Atau seperti induk bebek yang tak ditemani anak-anaknya, atau seperti superstar yang tidak memiliki fans.
Beberapa hari yang seperti tak ada mentari, tak ada sinar semangat. Beberapa hari pun tak ada gairah untuk menyentuh novel itu.
Setelah terjadi pergulatan perasaan dan logika, ku putuskan untuk mencari hiburan dengan membaca kembali novel yang selama ini menemaniku. Senandung Annisa yang telah tumbuh dewasa. Senandung Annisa yang pandai nan cantik. Senandung Annisa yang ramah nan menyenangkan. Yang setiap langkahnya takkan dilewatkan oleh setiap lelaki disekitarnya. Yang setiap perkataannya takkan dilupakan oleh telinga-telinga lelaki. “Apakah Senandung Annisa yang ini juga begitu?” batinku seraya mengingat masalahku.

Selama membaca novel ada perasaan ingin cerita cintaku seperti cerita cinta Senandung Annisa dalam novel. Bukan cerita cinta yang ku alami sekarang. Cerita cinta yang alami dan tak terkalahkan. Bukan cerita cinta yang ku alami sekarang. Cerita cinta yang mampu dipendam sampai dewasa, hingga ia bertemu kembali dan takkan terpisah lagi. Oh Ahmad Fauzi, cinta monyetku.
Suara ketukan pintu menghentikanku untuk membaca novel.
“Siapa?” tanyaku.
“Ini mbak ada surat buat mbak.” suara yang sudah tak asing bagiku, suara tetangga sebelah kamarku.
Langsung ku buka pintu, ku terima surat itu.
“Terima kasih ya mbak.” Ucapku sambil tersenyum.
“Iya sama-sama.” Jawabnya sambil tersenyum pula.
Ternyata 2 surat. Yang satu terlihat resmi dan yang satu tidak. Yang terlihat resmi tercantum nama SD Al-Islam. Yang satu tercantum nama irsyad ar-rasyid, nama orang yang selama ini mengisi hari-hariku.

Hati ini berbunga-bunga, bak bunga yang ada di taman bunga. Dua kejutan sekaligus. Hati ini kembali cerah seperti mentari yang mencuat dari awan hitam. Seperti superstar yang mendapat surat dari fansnya. Hihii.
Sengaja ku buka kejutan dari SD Al-Islam terlebih dahulu, karena kejutan terbesar layak ditaruh sebagai penutup kejutan.

Dengan surat ini, saya selaku kepala sekolah tertarik untuk menindak lanjuti surat lamaran saudara, untuk itu dengan surat ini saya mengundang saudara untuk hadir di SD Al-Islam untuk melakukan Interview. Demikian surat ini, terima kasih.

Kurang lebih seperti itu isi dari surat tersebut, dengan disertahi tanggal dan waktu pelaksanaan interview. “Ini berarti ibu kepala sekolah tertarik denganku. Yeah.. satu langkah telah kulalui, tinggal selangkah lagi” semangatku.
Waktunya untuk membuka kejutan utama. Hipotesis pertama dari surat pertama telah terbukti. Saatnya membuktikan hipotesis kedua dari surat kedua. “Telfon, sms, dan bbm ku ternyata dibalas dengan surat.” Senyum mengembang.

Assalamualaikum
Semoga kamu sehat disana, semoga kamu betah disana, dan semoga semua tujuan kamu dapat tercapai disana.
Sebelumnya, terima kasih sudah pernah menjadi bagian hidupku selama ini, terima kasih telah membuatku lebih baik selama ini, terima kasih telah menyayangiku selama ini, terima kasih untuk semuanya sayang.
Beribu maaf ku ucapkan kepadamu, semoga satu dari ribuan maafku dapat engkau terima.
Maaf  atas ketidak berbesaran hatiku mengucapkan maksudku secara langsung. Maaf atas jiwa yang pengecut ini.
Aku disini dan engkau disana, kita bak langit dan bumi, takkan bisa menyatu.
Aku tak bisa jika tanpa kehadiranmu,
Aku tak bisa jika tanpa parasmu,
Aku tak bisa jika tanpa senyummu,
Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kita, bukan berjalan bersama-sama melainkan berjalan sendiri-sendiri, dengan jalan masing-masing, dengan kehidupan masing-masing, dengan kesuksesan masing-masing. Kamu dengan kehidupanmu di Jogja, dan aku dengan kehidupanku di Surabaya.
Beribu maaf atas keputusan ini, semoga ini menjadi keputusan terbaik. Baik untukku maupun untukmu.
Maaf, dan terima kasih sayang.

Awan gelap seakan menyelimuti langit-langit kamar. Gemuruh petir bersahutan dari dalam hati. Tinggal menunggu waktu untuk turunnya air dari mata indah ini.
Persediaan oksigen dalam kamar seakan menipis, membuat dada ini sesak dibuatnya. Kepala yang dari awal sudah berat seakan ditambah dengan hantaman langit-langit kamar. Tulang-tulang seakan rapuh tak sanggup menopang tubuh ini.
Kejutan yang sangat besar, kejutan yang bahkan tidak terduga. Hipotesis dengan kesalahan dalam mengkaji, hipotesis yang tidak terbukti.

Percakapan malam itu ternyata menjadi percakapan terakhir dengannya. Ucapan sayang terakhir darinya. Tanda tanya besar yang terjawab hari ini, lewat surat ini.
Ini memang seperti seorang superstar yang mendapat surat dari fansnya, namun surat kekecewaan dari seorang fans untuk sang superstar. Atau bahkan lebih dari itu.
Jika seperti ini, bukan menjegal namanya, tapi ,mendorong dari belakang hingga terjatuh ke jurang. Surat itu mematahkan semangat ini, mematahkan langkah ini.
Hati ini memang masih seperti bunga, bunga di tepi jalan, yang layu.

***
This is a Monday. Hari senin yang membosankan, dengan keadaan yang menyedihkan, dan hati yang masih dibalut luka. Namun mau tidak mau saya harus tetap bangkit untuk melakukan interview.
Melakukan persiapan seadanya, memasukkan barang seadanya, dan membawa semangat seadanya. Berangkatlah diri ini menuju halte.
Tak ada persiapan jawaban yang mungkin akan ditanyakan oleh kepala sekolah. Diri ini dilanda kebimbangan antara memperjuangkan SD A-Islam atau kembali ke kampung halaman. Antara memperjuangkan cita atau cinta. Sejak dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir.
Hari senin, pasti akan lama mendapatkan bus. Itu berarti akan lama juga di halte ini.
Air mata ini seakan tak bisa dibendung lagi, namun air mata ini seakan malu dengan keramaian.
Hari senin, mengingatkanku dengan hari senin sebelumnya. Ku buka tas, dan ku temukan novel tersebut. Sudah satu minggu novel ini menemaniku. Tinggal beberapa bab lagi, akan ku selesaikan hari ini juga.

***
Cerita ini berasal dari cerita fiksi yang di non fiksikan, cerita yang berasal dari tempat yang sebenarnya, dengan tokoh-tokoh yang sebenarnya, dengan alur yang disesuaikan dengan keinginan penulis. Saya sengaja membuat cerita ini untuk cinta monyetku, semoga kamu membaca cerita ini, agar kamu tahu cinta ini, cinta pertamaku, Senandung Annisa.
Saya tersentak, membuat ibu yang duduk disampingku terkaget. Paragraph akhir yang menimbulkan berbagai pertanyaan.
“Apakah penulis ini adalah Ahmad Fauzi yang ku kenal?”
“Apakah sekarang dia menjadi seorang penulis?”
“Kenapa novelnya sampai dijogja?”
“Mungkinkah itu dia?”
Berbagai spekulasi masuk begitu saja dalam otakku, berbagai perasaan masuk begitu saja dalam hati ini, seakan tubuh ini mengalami komplikasi.
Ada perasaan bahagia, ada perasaan tak percaya, ada perasaan meminta untuk tak memperdulikan, karena setiap penulis berhak untuk menciptakan kreatifitas untuk menarik minat pembaca. Karena saya tak ingin kembali membuat hipotesis yang salah dalam pengkajiannya.

Tak terasa bus telah sampai di Malioboro.
 “Masuk saja mbak, nanti belok kanan” ucapan sang penjaga SD biarpun saya tak memberikan pertanyaan.
Kulangkahkan kaki menuju ruang kepala sekolah, yang ruangan tersebut memang mudah untuk diingat.
Saat nama ruang kepala sekolah mulai jelas terlihat, tampak ibu kepala sekolah keluar dengan pakaian yang nampak seperti menerima kedatangan bapak bupati.
“Ibu” sambil tersenyum dan berjabat tangan.
“Ini bu nisa bukan?”sambil tersenyum sumringah.
“Iya bu, ini saya Senandung Annisa.”
“Sudah siap untuk melakukan interview?”
“Insyaallah siap bu”
“Bagus. Tapi begini nak, ibu ada undangan mendadak untuk menghadiri rapat di kecamatan. Ibu mohon maaf sebelumnya kepada nak nisa. Karena rapat ini juga sangat penting dan tidak bisa diwakilkan. Jadi untuk interview nak nisa nanti sudah saya wakilkan ke guru yang lain. Nak nisa tidak keberatan kan?”
Ada perasaan kecewa karena saya seperti dianggap tidak seberapa penting. Dan itu berarti sekolah ini tidak akan menerima saya. “Lengkap sudah penderitaanku” batinku.
“Iya ibu tidak apa-apa” dengan memaksakan senyum.
“Alhamdulillah, ya sudah nak nisa silahkan duduk di ruangan ibu. Nanti biar ibu beritahu guru yang mewakili ibu.” dengan senyum penuh kharismatik.
“Iya, bu. Terima kasih”.

Saya duduk di kursi tamu di ruang kepala sekolah dengan novel masih digenggaman. Tak sadar dari tadi saya masih memegangi novel ini.
“Assalamualaikum.” Suara lantang yang terdengar dari luar.
“Waalaikumsalam.” Sambil menoleh ke sumber suara.
Seakan telah melengkapi serpihan-serpihan sosok wajah waktu itu. Ternyata sosok wajah yang tidak begitu asing. Membuat diri ini terdiam beberapa saat.
“Brukkk.” Novelku terjatuh dari genggaman, yang memecah keheninganku.
“Kamu sudah membaca novel itu ternyata” ucapnya dengan penuh percaya diri tanpa ada rasa kaget sedikit pun.
“Ini novel kamu?’ sahutku seakan tanpa diperintah oleh otak.
“Kamu masih bertanya seperti itu?” tanyanya sambil menunjukkan ekspresi heran.
“Mungkin kamu lupa untuk membaca profil dari penulis” Lanjutnya dengan senyum kecil.
Pernyataan yang sontak membuatku tersipu malu. Saya baru ingat kalau saya terlalu ekspresif waktu membaca paragraph terakhir, yang membuatku lupa untuk membaca profil penulis dihalaman berikutnya. Karena sebenarnya dengan melihat itu saja semua pertanyaanku selama ini dapat terjawab. Begitu bodohnya diriku dan begitu malunya diri ini.
Ku ambil dan kubuka profil penulis dari novel yang masih terjatuh. Penulis dengan nama Ahmad Fauzi, dengan alamat dan tempat tanggal lahir yang sama dengan Ahmed Fauzi yang ku kenal. Ahmad Fauziku. Cinta monyetku.

“Sudah siap untuk melakukan interview?” tanyanya setelah merasa diriku yakin dia adalah orang yang sekarang ada dihadapanku.
“Sudah” dengan tersenyum malu.
“Baik. Pertanyaan pertama, sudah punya kekasih?”
Pertanyaan yang membuatku terkaget, pertanyaan interview yang tak wajar.
“Kemarin punya, dan sekarang kupastikan tidak punya.” jawabku membalas.
“Kenapa memilih SD Al-Islam yang jauh dari Surabaya?”
“Yang pertama ingin mandiri, kedua karena lokasi SD Al-Islam yang mudah dan akreditasi yang sudah diakui, yang terakhir saya merasa jodoh dengan tempat ini” jawabku menyerang.
“Pertanyaan terakhir, maukah kamu mewujudkan alur dari cerita cinta di novel yang kamu pegang?”
“Sebagai pemain, saya akan menuruti apa yang diminta penulis terhadap saya.”
Kami pun tersenyum dalam satu cinta, bahagia dalam satu ikatan.
Mengusahakan masa depan yang menghasilkan jodoh.
Ternyata feelingku memang tepat untuk mengambil novel tersebut. Novel yang tidak hanya menuliskan cerita cintaku, namun juga sebagai pengantar cerita cintaku.
Inilah jalan tuhan yang diberikan kepada kami, jalan tuhan lewat tintaku.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKNA DAN CONTOH SIKAP PANCASILA

Polarisasi Cahaya

Pendidikan Seni