profil penulis
Profil Penulis
‘Jalan Tuhan Lewat Tintaku’. “judul
novel yang menarik”, batinku. Langsung kusambar nover tersebut dari rak nomor
25. Tidak sempat kulihat inti cerita dari novel tersebut karena waktu telah
menunjukkan pukul 06.36 wib. Mungkin karena saya terlalu lama memilih dan
memilah. Entah mengapa saya langsung menyambar novel ini setelah melihat cover
dan judulnya yang terlihat menarik. “semoga saja feelingku tepat.”, batinku
kembali.
Hari ini kota Jogjakarta benar-benar
ramai, mungkin karena hari senin. Yah, ‘monday’ atau monster day. Hehee.
Kata-kata yang tak sengaja ku dapat dari dunia maya. Banyak orang yang memulai
aktivitasnya kembali di hari senin, biarpun rasa malas masih merasuki tubuh
mereka. Namun rasa itu kalah dengan rasa takut dipecat bos, rasa takut dipotong
gaji oleh atasan, rasa takut mendapat nilai jelek oleh guru, rasa takut tidak
diabsen, atau bahkan rasa takut dimarahin istri. Dan banyak rasa lagi sebanyak
umat manusia dibumi ini. Ternyata hari senin di berbagai tempat sama saja,
selalu ramai.
Sudah tiga bus yang lewat
begitu saja dari halte yang saya tempati. Semuanya telah penuh dengan
orang-orang yang memiliki berbagai macam tujuan. Sambil menunggu bus yang
kosong, ku buka novel yang barusan aku beli dari Gramedia yang hanya berjarak
seratus meter dari halte. Ternyata penulis muda atas nama Ahmad Fauzi. Namanya mengingatkanku dengan
teman masa SD ku. Banyak komentar-komentar yang memuji karyanya di halaman awal
yang semakin membuatku penasaran akan isi dari novel tersebut.
Di halaman-halaman awal banyak
nama-nama tempat yang tak asing bagiku, seperti nama sekolah, nama-nama desa
yang hampir mirip atau bahkan sama persis dengan nama-nama yang ada ditempat
tinggalku. Dalam hati ku berkata
ternyata nama-nama tersebut juga ada dibelahan bumi yang lain. ”dunia tak seluas daun kelor” tambahku. Setelah tiga bab dari
novel tersebut kulahap, terdengar suara kernet mengeluarkan jurusnya untuk
menarik perhatian para penumpang. Tanpa berpikir panjang langsung ku langkahkan
kaki menuju kedalam bus. Bukan karena terpikat oleh jurusnya, melainkan waktu
yang sudah tidak ada lagi.
Tujuanku
hari ini adalah menuju SD Al-Islam, tepatnya di jalan Malioboro untuk mencari satu tempat pekerjaan disana. Pekerjaan
yang mulia tentunya. Saya adalah lulusan Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar dari salah satu universitas di Surabaya. Setelah lulus, saya memutuskan untuk merantau
ke kota, sejenak meninggalkan kampung halaman. Menjelajahi dunia agar bisa lebih mandiri dan mengerti arti hidup.
Kota pendidikan ini adalah penjelajahan pilihanku. Semoga
disini nanti saya bisa mendapat satu tempat untuk menyalurkan apa yang sudah
kudapat dari bangku perkuliahan.
Banyak
yang tidak setuju dengan keputusan saya mengembara ke kota lain, termasuk
seseorang yang selama ini mengisi hari-hariku. Karena selain perempuan, kita juga nantinya akan jarang atau bahkan tidak pernah
bertemu sama sekali. Namun itu tidak mengubah tekatku. Karena saya
ingin membuktikan kepada dunia bahwa perempuan juga bisa hidup mandiri. Soal
jodoh, itu sudah ditetapkan oleh tuhan. Memang jodoh itu harus diusahakan, dan
saya akan mengusahakannya seiring usahaku menuju masa depanku. Itu adalah suatu
prinsip.
Didalam
bus kulanjutkan untuk membaca novel yang telah ku beli. Cerita
yang ditulis begitu mencengangkan, yang membuatku terbawa ke masa kecilku dulu.
Membuatku mengingat semua masa penuh canda tawa tersebut. Ceritanya memang
berawal dari masa kecil yang penuh warna. Sang penulis sangat pandai
menghipnotis pembacanya sehingga mampu membawa sang pembaca kembali mengingat
masa kecilnya. Setelah membaca berlembar-lembar, saya tersadar bahwa pemain
perempuan dari novel tersebut memiliki nama yang sama denganku, Senandung
Annisa. Hal tersebut membuatku tersenyum geli dalam hati.
“Malioboro.. Malioboro..” Suara
yang terdengar dari pita suara sang kernet, menandakan bus telah sampai di
Malioboro, dan menandakan pula bahwa saya harus turun. Tidak kebetulan SD
Al-Islam hanya berjarak beberapa meter dari halte Malioboro, alasan itu yang
membuatku memilih SD ini. Jangkauan menuju SD sangat mudah, tanpa membutuhkan
kendaraan pribadi ataupun oper transportasi berkali-kali. Selain itu, SD ini
adalah SD swasta yang cukup popular dikawasan Malioboro.
“Masuk saja mbak, nanti belok
kanan” jawaban dari penjaga SD dengan perawakan tinggi besar tanpa
menghilangkan keramahan.
Setelah kuikuti petunjuk yang
kudapat, kutemukan ruang kepala sekolah yang bersebelahan dengan ruang kelas
IIA. Mata ini lebih tertarik untuk memperhatikah ruang kelas IIA daripada ruang
kepala sekolah. Karena selain ruang kepala sekolah yang terlihat sepi, juga
karena ruang kelas IIA yang begitu ramai, bukan ramai gaduh, melainkan ramai
dengan anak-anak yang bersemangat untuk belajar. “Inilah kelebihan SD ini,
inilah SD yang kucari” batinku.
Saya kembali mengamati ruang
kelas tersebut, mata ini mencari-cari sosok yang mampu menciptakan suasana
kelas yang begitu hidup. Tidak mudah menemukan sosok tersebut, karena sosok itu
telah digandrungi anak didiknya. Seperti induk bebek dengan anak-anaknya. Atau
seperti superstar dengan para fansnya. Hihii. Kuketahui badan yang tidak begitu
tinggi dan tidak begitu berisi dengan potongan rambut yang pendek dan rapi
setelah iya berdiri dari duduknya. Tidak terlihat wajah penuhnya, yang terlihat
hanya satu mata tajam dan hidung mancungnya dari kejauhan.
“Ada yang bisa saya bantu bu?”
kalimat yang memecah konsentrasiku, memecah anganku mengumpulkan
serpihan-serpihan wajah yang membentuk sosok wajah itu.
“Eh, iya bu.”
“Maaf kalau saya mengagetkan
anda” kata ibu yang wajahnya terlihat sudah tua namun masih memiliki kharisma.
“Emm, tidak apa-apa bu” saya
langsung menyiapkan diri.
“Begini bu, saya ingin menemui
ibu kepala sekolah? Apakah beliau ada?”
Oh, iya saya kepala sekolah
disini, mari silahkan masuk ke ruangan saya.
***
Surat lamaran telah kuberikan
kepada kepala sekolah setelah bercengkrama panjang lebar. Kepala sekolah yang
terbilang ramah. Faktor yang membuatku lebih ingin diterima di sekolah itu. Selain
keramahan, berbagai prestasinya yang membuat ia menjadi kepala sekolah di SD
Al-Islam. Namun ada perasaan ragu, karena menurut kepala sekolah SD Al-Islam
tidak lama telah menerima guru muda, yang sepak terjangnya dalam mendidik siswa
telah diakui oleh para guru dan wali siswa. Sosok guru muda ini yang lebih
banyak diceritakan oleh kepala sekolah. Guru yang dibutuhkan Indonesia. Entah
karena ingin memotivasi saya, atau sindiran halus untuk tidak menerima saya
menjadi tenaga pendidik disini. Tetapi apapun hasilnya, yang terpenting adalah
tetap berusaha, karena tidak ada kesuksesan tanpa adanya usaha. Itu sudah janji
allah, man jadda wa jadda.
***
‘Jalan Tuhan Lewat Tintaku’,
novel ini kembali kubuka dan kubaca. Kata demi kata, kalimat demi kalimat,
paragraph demi paragraph, lembar demi lembar, dan bab demi bab. Alasanku
membeli novel adalah untuk menghilangkan kejenuhanku saat berada dikos-kosan.
Karena masih beberapa hari di kota orang, saya masih sendiri dan tidak memiliki
teman. Sebenarnya ada kerabat yang juga di Jogja, tapi saya tidak ingin merepotkan,
selain itu saya ingin seutuhnya mandiri. Bisa hidup mandiri adalah suatu
kebanggaan tersendiri. Apalagi itu adalah seorang perempuan. Seperti
khadijahnya nabi Muhammad. Selain alasan jenuh, alasan utama adalah ingin
menghilangkan kepedihan hati. Iyah, setelah diri ini memutuskan untuk
mengembara ke kota, hubunganku dengan sang pujaan hati pun berantakan. Pikirku,
mungkin ini hanya masalah adaptasi dan waktu, nanti juga akan terbiasa dengan
hubungan yang jauh atau LDR. Namun dia yang ada disana sepertinya tidak
demikian, jarak adalah penghancur suatu hubungan. Tidak ada pertemuan maka
tidak akan ada perasaan. Ada perasaan sesal terhadap keputusanku, namun dari
perasaan terdalam, ada motivasi yang lebih untuk menjadi seseorang yang lebih
baik lagi, menjadi mandiri dan sukses.
Setelah kuputuskan untuk sholat
isya’ terlebih dahulu, agar jika tertidur tidak akan jadi masalah, kulanjutkan
membaca novel yang ceritanya telah mencapai klimaks. Cerita tentang masa kecil
yang penuh canda tawa yang menimbulkan benih-benih cinta, yang cintanya mampu
ia pendam hingga dewasa. Cinta pertama yang mampu mengalahkan cinta yang lain. Cinta
monyet yang menjadi cinta sejati. Cinta monyet yang menjadi cinta sang arjuna.
Cerita cinta yang sungguh mainstream namun entah kenapa tetap ekstrem jika
dituangkan dalam cerita cinta.
Cerita yang membuatku sedikit
terhibur. Cerita yang membuatku kembali pada masa lalu, apalagi dengan nama
tokoh yang sama denganku, Senandung Annisa. Yang membuatku mengingat masa lalu,
Ahmad Fauzi. Nama seseorang yang menjadi cinta monyetku, memang tidak banyak
yang tahu, mungkin dia pun tidak tahu bahwa saya pernah memiliki rasa untuknya,
meskipun itu cinta monyet. Sosok anak yang putih bersih dengan rambut ikalnya.
Sosok anak yang pendiam dengan kepandaiannya. Sosok yang memang mirip dengan
sosok yang diceritakan dalam novel. Membuatku semakin tertawa geli.
Kriiing.. kriiing.. hp ku
berbunyi, melenyapkan khayalanku tentang sosok Ahmad Fauzi.
“Hallo.”
“Iya
hallo.”
“Kemana
saja kamu hari ini, tidak ada kabar?”
“maaf
saya tadi sibuk?”
“saya
tadi juga sibuk mengantar surat lamaran ke beberapa SD tapi masih bisa ngasih
kabar ke kamu, terus kenapa sekarang telfon?”
“Tidak
apa-apa, mau tanya alamat kamu dijogja”
“Buat
apa?”
“Tidak
apa-apa, biar tau saja”
“Iya
nanti tak sms”
“Iya
sudah, kamu segera istirahat, maaf ya, sekali lagi maaf”
“Maaf
untuk apa?”
“Tidak
apa-apa, selamat malam sayang”
Ucapan
selamat malam yang diakhiri dengan bunyi tuut tuuut tuuut, menandakan telfon
telah dimatikan.
Percakapan yang menimbulkan
pergulatan batin, percakapan yang menimbulkan tanda tanya besar di kepala. Ada
sedikit rasa bahagia bisa mendengar suaranya, namun banyak rasa penasaran atas
suara yang sangat tersirat tersebut. Membuat pikiran ini bekerja lebih ekstra
untuk memikirkan semua kemungkinan yang terjadi. Hingga lelah, hingga mata ini
terpejam setelah mengirim alamatku kepadanya melalui sms.
***
Setelah percakapan malam itu,
tidak ada lagi sms darinya, tidak ada lagi telfon darinya, tidak ada lagi kabar
darinya. Sms, telfon, dan bbm ku tak terbalas.
Pikiran yang tak terbendung,
wajah yang murung, tubuh yang lusung. Pujaan hati seharusnya mendukung, bukan
malah menjegal seperti ini. Seperti partai politik yang tak punya koalisi,
seperti partai politik yang tak punya pendukung. Atau seperti induk bebek yang
tak ditemani anak-anaknya, atau seperti superstar yang tidak memiliki fans.
Beberapa hari yang seperti tak
ada mentari, tak ada sinar semangat. Beberapa hari pun tak ada gairah untuk menyentuh
novel itu.
Setelah terjadi pergulatan
perasaan dan logika, ku putuskan untuk mencari hiburan dengan membaca kembali
novel yang selama ini menemaniku. Senandung Annisa yang telah tumbuh dewasa.
Senandung Annisa yang pandai nan cantik. Senandung Annisa yang ramah nan
menyenangkan. Yang setiap langkahnya takkan dilewatkan oleh setiap lelaki
disekitarnya. Yang setiap perkataannya takkan dilupakan oleh telinga-telinga
lelaki. “Apakah Senandung Annisa yang ini juga begitu?” batinku seraya
mengingat masalahku.
Selama membaca novel ada
perasaan ingin cerita cintaku seperti cerita cinta Senandung Annisa dalam
novel. Bukan cerita cinta yang ku alami sekarang. Cerita cinta yang alami dan
tak terkalahkan. Bukan cerita cinta yang ku alami sekarang. Cerita cinta yang
mampu dipendam sampai dewasa, hingga ia bertemu kembali dan takkan terpisah
lagi. Oh Ahmad Fauzi, cinta monyetku.
Suara
ketukan pintu menghentikanku untuk membaca novel.
“Siapa?”
tanyaku.
“Ini
mbak ada surat buat mbak.” suara yang sudah tak asing bagiku, suara tetangga
sebelah kamarku.
Langsung
ku buka pintu, ku terima surat itu.
“Terima
kasih ya mbak.” Ucapku sambil tersenyum.
“Iya sama-sama.” Jawabnya sambil
tersenyum pula.
Ternyata 2 surat. Yang satu
terlihat resmi dan yang satu tidak. Yang terlihat resmi tercantum nama SD
Al-Islam. Yang satu tercantum nama irsyad ar-rasyid, nama orang yang selama ini
mengisi hari-hariku.
Hati ini berbunga-bunga, bak
bunga yang ada di taman bunga. Dua kejutan sekaligus. Hati ini kembali cerah
seperti mentari yang mencuat dari awan hitam. Seperti superstar yang mendapat
surat dari fansnya. Hihii.
Sengaja ku buka kejutan dari SD
Al-Islam terlebih dahulu, karena kejutan terbesar layak ditaruh sebagai penutup
kejutan.
Dengan
surat ini, saya selaku kepala sekolah tertarik untuk menindak lanjuti surat
lamaran saudara, untuk itu dengan surat ini saya mengundang saudara untuk hadir
di SD Al-Islam untuk melakukan Interview. Demikian surat ini, terima kasih.
Kurang lebih seperti itu isi
dari surat tersebut, dengan disertahi tanggal dan waktu pelaksanaan interview. “Ini
berarti ibu kepala sekolah tertarik denganku. Yeah.. satu langkah telah
kulalui, tinggal selangkah lagi” semangatku.
Waktunya untuk membuka kejutan
utama. Hipotesis pertama dari surat pertama telah terbukti. Saatnya membuktikan
hipotesis kedua dari surat kedua. “Telfon, sms, dan bbm ku ternyata dibalas dengan
surat.” Senyum mengembang.
Assalamualaikum
Semoga kamu sehat disana, semoga
kamu betah disana, dan semoga semua tujuan kamu dapat tercapai disana.
Sebelumnya, terima kasih sudah
pernah menjadi bagian hidupku selama ini, terima kasih telah membuatku lebih
baik selama ini, terima kasih telah menyayangiku selama ini, terima kasih untuk
semuanya sayang.
Beribu maaf ku ucapkan
kepadamu, semoga satu dari ribuan maafku dapat engkau terima.
Maaf atas ketidak berbesaran hatiku mengucapkan
maksudku secara langsung. Maaf atas jiwa yang pengecut ini.
Aku disini dan engkau disana,
kita bak langit dan bumi, takkan bisa menyatu.
Aku
tak bisa jika tanpa kehadiranmu,
Aku
tak bisa jika tanpa parasmu,
Aku
tak bisa jika tanpa senyummu,
Mungkin ini adalah jalan
terbaik untuk kita, bukan berjalan bersama-sama melainkan berjalan sendiri-sendiri,
dengan jalan masing-masing, dengan kehidupan masing-masing, dengan kesuksesan
masing-masing. Kamu dengan kehidupanmu di Jogja, dan aku dengan kehidupanku di
Surabaya.
Beribu maaf atas keputusan ini,
semoga ini menjadi keputusan terbaik. Baik untukku maupun untukmu.
Maaf,
dan terima kasih sayang.
Awan
gelap seakan menyelimuti langit-langit kamar. Gemuruh petir bersahutan dari
dalam hati. Tinggal menunggu waktu untuk turunnya air dari mata indah ini.
Persediaan
oksigen dalam kamar seakan menipis, membuat dada ini sesak dibuatnya. Kepala
yang dari awal sudah berat seakan ditambah dengan hantaman langit-langit kamar.
Tulang-tulang seakan rapuh tak sanggup menopang tubuh ini.
Kejutan yang sangat besar, kejutan
yang bahkan tidak terduga. Hipotesis dengan kesalahan dalam mengkaji, hipotesis
yang tidak terbukti.
Percakapan
malam itu ternyata menjadi percakapan terakhir dengannya. Ucapan sayang
terakhir darinya. Tanda tanya besar yang terjawab hari ini, lewat surat ini.
Ini memang seperti seorang
superstar yang mendapat surat dari fansnya, namun surat kekecewaan dari seorang
fans untuk sang superstar. Atau bahkan lebih dari itu.
Jika
seperti ini, bukan menjegal namanya, tapi ,mendorong dari belakang hingga
terjatuh ke jurang. Surat itu mematahkan semangat ini, mematahkan langkah ini.
Hati ini memang masih seperti
bunga, bunga di tepi jalan, yang layu.
***
This is a Monday. Hari senin
yang membosankan, dengan keadaan yang menyedihkan, dan hati yang masih dibalut
luka. Namun mau tidak mau saya harus tetap bangkit untuk melakukan interview.
Melakukan persiapan seadanya,
memasukkan barang seadanya, dan membawa semangat seadanya. Berangkatlah diri
ini menuju halte.
Tak
ada persiapan jawaban yang mungkin akan ditanyakan oleh kepala sekolah. Diri
ini dilanda kebimbangan antara memperjuangkan SD A-Islam atau kembali ke
kampung halaman. Antara memperjuangkan cita atau cinta. Sejak dulu beginilah
cinta, deritanya tiada akhir.
Hari
senin, pasti akan lama mendapatkan bus. Itu berarti akan lama juga di halte
ini.
Air
mata ini seakan tak bisa dibendung lagi, namun air mata ini seakan malu dengan
keramaian.
Hari senin, mengingatkanku
dengan hari senin sebelumnya. Ku buka tas, dan ku temukan novel tersebut. Sudah
satu minggu novel ini menemaniku. Tinggal beberapa bab lagi, akan ku selesaikan
hari ini juga.
***
Cerita
ini berasal dari cerita fiksi yang di non fiksikan, cerita yang berasal dari
tempat yang sebenarnya, dengan tokoh-tokoh yang sebenarnya, dengan alur yang
disesuaikan dengan keinginan penulis. Saya sengaja membuat cerita ini untuk
cinta monyetku, semoga kamu membaca cerita ini, agar kamu tahu cinta ini, cinta
pertamaku, Senandung Annisa.
Saya
tersentak, membuat ibu yang duduk disampingku terkaget. Paragraph akhir yang
menimbulkan berbagai pertanyaan.
“Apakah
penulis ini adalah Ahmad Fauzi yang ku kenal?”
“Apakah
sekarang dia menjadi seorang penulis?”
“Kenapa
novelnya sampai dijogja?”
“Mungkinkah itu dia?”
Berbagai
spekulasi masuk begitu saja dalam otakku, berbagai perasaan masuk begitu saja
dalam hati ini, seakan tubuh ini mengalami komplikasi.
Ada perasaan bahagia, ada
perasaan tak percaya, ada perasaan meminta untuk tak memperdulikan, karena
setiap penulis berhak untuk menciptakan kreatifitas untuk menarik minat
pembaca. Karena saya tak ingin kembali membuat hipotesis yang salah dalam
pengkajiannya.
Tak
terasa bus telah sampai di Malioboro.
“Masuk saja mbak, nanti belok kanan” ucapan
sang penjaga SD biarpun saya tak memberikan pertanyaan.
Kulangkahkan
kaki menuju ruang kepala sekolah, yang ruangan tersebut memang mudah untuk
diingat.
Saat
nama ruang kepala sekolah mulai jelas terlihat, tampak ibu kepala sekolah
keluar dengan pakaian yang nampak seperti menerima kedatangan bapak bupati.
“Ibu”
sambil tersenyum dan berjabat tangan.
“Ini
bu nisa bukan?”sambil tersenyum sumringah.
“Iya
bu, ini saya Senandung Annisa.”
“Sudah
siap untuk melakukan interview?”
“Insyaallah
siap bu”
“Bagus. Tapi begini nak, ibu
ada undangan mendadak untuk menghadiri rapat di kecamatan. Ibu mohon maaf
sebelumnya kepada nak nisa. Karena rapat ini juga sangat penting dan tidak bisa
diwakilkan. Jadi untuk interview nak nisa nanti sudah saya wakilkan ke guru
yang lain. Nak nisa tidak keberatan kan?”
Ada
perasaan kecewa karena saya seperti dianggap tidak seberapa penting. Dan itu
berarti sekolah ini tidak akan menerima saya. “Lengkap sudah penderitaanku”
batinku.
“Iya
ibu tidak apa-apa” dengan memaksakan senyum.
“Alhamdulillah,
ya sudah nak nisa silahkan duduk di ruangan ibu. Nanti biar ibu beritahu guru
yang mewakili ibu.” dengan senyum penuh kharismatik.
“Iya,
bu. Terima kasih”.
Saya duduk di kursi tamu di
ruang kepala sekolah dengan novel masih digenggaman. Tak sadar dari tadi saya
masih memegangi novel ini.
“Assalamualaikum.”
Suara lantang yang terdengar dari luar.
“Waalaikumsalam.” Sambil
menoleh ke sumber suara.
Seakan
telah melengkapi serpihan-serpihan sosok wajah waktu itu. Ternyata sosok wajah
yang tidak begitu asing. Membuat diri ini terdiam beberapa saat.
“Brukkk.” Novelku terjatuh dari
genggaman, yang memecah keheninganku.
“Kamu
sudah membaca novel itu ternyata” ucapnya dengan penuh percaya diri tanpa ada
rasa kaget sedikit pun.
“Ini
novel kamu?’ sahutku seakan tanpa diperintah oleh otak.
“Kamu
masih bertanya seperti itu?” tanyanya sambil menunjukkan ekspresi heran.
“Mungkin kamu lupa untuk
membaca profil dari penulis” Lanjutnya dengan senyum kecil.
Pernyataan yang sontak
membuatku tersipu malu. Saya baru ingat kalau saya terlalu ekspresif waktu
membaca paragraph terakhir, yang membuatku lupa untuk membaca profil penulis
dihalaman berikutnya. Karena sebenarnya dengan melihat itu saja semua
pertanyaanku selama ini dapat terjawab. Begitu bodohnya diriku dan begitu
malunya diri ini.
Ku ambil dan kubuka profil
penulis dari novel yang masih terjatuh. Penulis dengan nama Ahmad Fauzi, dengan
alamat dan tempat tanggal lahir yang sama dengan Ahmed Fauzi yang ku kenal.
Ahmad Fauziku. Cinta monyetku.
“Sudah
siap untuk melakukan interview?” tanyanya setelah merasa diriku yakin dia
adalah orang yang sekarang ada dihadapanku.
“Sudah” dengan tersenyum malu.
“Baik.
Pertanyaan pertama, sudah punya kekasih?”
Pertanyaan
yang membuatku terkaget, pertanyaan interview yang tak wajar.
“Kemarin punya, dan sekarang
kupastikan tidak punya.” jawabku membalas.
“Kenapa
memilih SD Al-Islam yang jauh dari Surabaya?”
“Yang pertama ingin mandiri,
kedua karena lokasi SD Al-Islam yang mudah dan akreditasi yang sudah diakui,
yang terakhir saya merasa jodoh dengan tempat ini” jawabku menyerang.
“Pertanyaan
terakhir, maukah kamu mewujudkan alur dari cerita cinta di novel yang kamu
pegang?”
“Sebagai pemain, saya akan
menuruti apa yang diminta penulis terhadap saya.”
Kami
pun tersenyum dalam satu cinta, bahagia dalam satu ikatan.
Mengusahakan
masa depan yang menghasilkan jodoh.
Ternyata
feelingku memang tepat untuk mengambil novel tersebut. Novel yang tidak hanya
menuliskan cerita cintaku, namun juga sebagai pengantar cerita cintaku.
Inilah
jalan tuhan yang diberikan kepada kami, jalan tuhan lewat tintaku.
Komentar
Posting Komentar